Noona?
Written by Cheery
Luhan, OC, Sehun ; PG ; Romance(?) ;
(long) Oneshot (5k+ words)
“Se Hyun-a!”
Gadis berambut kelam sepunggung yang dikucir kuda itu
menoleh ketika merasa ada seseorang memanggil namanya. Terlihat seorang gadis
sebayanya sedang berlari ke arahnya sambil melambaikan tangan. Rambut pendek bobnya terlihat naik turun lucu. “Eo? Waeyo
Jo Eun-a?” tanya Se Hyun –nama gadis
berambut sepunggung-
“Hye Jin akan mentraktir kita daging, kau mau ikut?” jawab
Jo Eun dengan sedikit terengah.
“Ah, kurasa tidak. Ujian hari terakhir benar-benar menguras
pikiran, aku mau istirahat saja,” tolak Se Hyun.
“Tsk, arraseo. Aku
lupa kalau kau putri tidur,” cibir Jo Eun. “Baiklah kalau begitu, jangan
menyesal, ya,” tambahnya lalu pergi meninggalkan Se Hyun.
“Ne, selamat
bersenang-senang,”ucap Se Hyun sambil melambaikan tangan.
Detik berikutnya ponsel Se Hyun bergetar, ada panggilan
masuk, Sehun.
“Yeobose-“
“NOONA! Cepat
jemput aku di stasiun,” belum lengkap Se Hyun mengucapkan salam pembuka, si
penelpon seenaknya memotong, sambil berteriak pula.
“Ya! Dasar tidak
sopan! Jangan berteriak seperti itu pada noonamu!
Kenapa tidak pulang sendiri saja?” omel Se Hyun pada Sehun, adiknya.
“Oh, ayolah noona.
Apa kau mau adikmu yang tampan ini diculik orang?” rayu Sehun.
“Kau sudah SMA Oh Sehun. Dan mana ada orang yang mau
menculik anak rakus sepertimu, bisa bangkrut,” ejek Se Hyun.
“Noona~” suara
Sehun jadi merengek manja. Biasanya Se Hyun akan luluh.
“Tidak. Aku lelah, aku mau tidur,” Se Hyun tetap menolak.
“Akan ku traktir bubble
tea nanti,” Sehun belum menyerah
“Kau berkata seperti itu puluhan kali dan tak satupun
terealisasi,” elak Se Hyun.
“Tsk, kalau noona tidak menjemputku, aku tidak akan
memberikan sweater rajutan buatan
nenek,” ancam Sehun pada akhirnya.
“ANDWAE!! Aku akan
tiba di sana jam satu siang, jangan kemana-mana,”
PIP! Telepon
diputus. Se Hyun segera berjalan keluar gerbang sekolah menuju stasiun,
sedangkan Sehun yang sedang duduk manis di stasiun hanya memasang senyum paling
menyebalkan di dunia (menurut Se Hyun) sambil memasang earphone. Mendengarkan musik selama setengah jam ke depan bukanlah
ide buruk.
Se Hyun berjalan dengan mulut yang masih menggerutu, waktu
tidur siangnya terpotong untuk menjemput adik tercinta yang baru saja kembali
mengunjungi nenek 2 hari lalu karena sekolahnya libur untuk murid tingkat 3
ujian. Di antara banyaknya orang yang lalu lalang, matanya menangkap anak
laki-laki dengan topi bentuk koala yang lucu, satu tangannya membawa kantong
plastik dan bubble tea (Se Hyun tau
karena tampilannya sama seperti yang dibeli Sehun setiap minggu) sambil
sesekali menyeruputnya, dan tangan satunya lagi sedang memainkan ponsel.
Dari arah belakang anak laki-laki itu, ada seorang yang
sedang berlari dan menabrak beberapa pejalan kaki lain. Oh, sepertinya bocah
itu juga akan tertabrak. Se Hyun setengah berteriak, “Hei, awas!” bocah itu mendongak, “di belakangmu,” tambah Se Hyun.
Anak laki-laki itu menoleh ke belakang.
BRUK! Terlambat.
Belum sempat anak itu melihat apa yang ada di belakangnya, ia sudah tersungkur
ke depan, lelaki berjas yang menabraknya hanya minta maaf sekilas dan kembali
berlari, seperti ada urusan sangat penting.
Se Hyun mengahmpiri anak itu, “Kau tak apa?”, anak itu
mengangguk, kemudian ekspresinya seperti baru menyadari sesuatu, “Bubble tea!”
“Oh, bubble teamu
tumpah,” Se Hyun membantunya berdiri. Ternyata ia lebih tinggi dari Se Hyun.
“Bubble tea,” nada
suaranya terdengar sedih.
“Gwaenchanha, kita
bisa membelinya lagi nanti,” hibur Se Hyun. Bocah itu mulai membersihkan debu
jalan yang menempel pada baju dan celana selututnya.
“Tapi itu stok taro
bubble tea terakhir, aku berdebat sengit dengan anak kelas 6 SD untuk
mendapatkannya,” ia mengambil kantong plastiknya yang juga terjatuh, ternyata
isinya beberapa roti dan keripik kentang.
Se Hyun melihat siku anak itu, lecet. “Kau terluka,” katanya
sambil menunjuk lukanya. Pandangan Se Hyun turun ke lutut, “Lututmu juga, ayo
ikut aku,” ajak Se Hyun.
Se Hyun membawa bocah itu ke mini market terdekat dan mendudukkannya di bangku depan mini market, “Tunggu disini, aku segera
kembali,” anak itu mengangguk sambil membetulkan posisi topi koalanya.
Beberapa menit kemudian, Se Hyun kembali dengan membawa
cairan antiseptik, obat merah, kapas, dan plester. “Ini akan terasa sedikit
sakit, kau tahan ya,” kata Se Hyun sambil meneteskan antiseptik pada kapas.
Se Hyun mulai membersihkan luka di lutut anak itu dengan
hati-hati, “Siapa namamu?” tanya Se Hyun, berharap anak ini mengalihkan
perhatian dari lukanya agar tak terasa terlalu sakit.
“Namaku Luhan,” jawabnya.
“Luhan? Rusa?” Se Hyun mendongak, menatap wajah Luhan,
“Matamu memang mirip seperti rusa,” kekehnya.
“Kau orang ke 781 yang bilang seperti itu,” ucap Luhan lalu
tertawa. “Namamu?” anggap Luhan sedang berbasa-basi karena ia tahu jelas siapa
nama gadis itu melalui name tag di blazernya.
“Se Hyun, Oh Se Hyun,”
“Se Hyun-ssi,
kamsahamnida,” Luhan berterima kasih.
“Tidak perlu seformal itu, kau bisa memanggilku noona,” kata
Se Hyun tersenyum.
“Noona? Tapi-“
“Tak usah sungkan, kau seumuran dengan adikku. Dia juga suka
bubble tea, wajahnya juga mirip
denganmu,” Se Hyun terkekeh mengingat Sehun, adik paling menyebalkan yang
paling ia sayang.
“Adikmu? Tapi usia- aakh!”
“Oh, maaf. Perih
ya? Aku akan pelan-pelan,” Se Hyun mulai memberi obat merah pada luka Luhan.
“Ah, iya sedikit,”
Setelah selesai dengan luka bagian lutut, Se Hyun beralih ke
siku Luhan, “Sikumu sedikit lecet, akan kuberi plester saja ya?” Luhan menurut.
“Sampai rumah nanti, minta bantuan ibumu untuk merawat lukanya.
Tak perlu memakai plester saat di rumah agar lukanya cepat mengering. Jja! Selesai,” ucap Se Hyun tersenyum
bangga.
Ponsel di saku blazer
Se Hyun bergetar, panggilan masuk.
“Yeob-“
“NOONA, KAU
DIMANA? KENAPA LAMA SEKALI?!” Oh, gawat! Se Hyun melupakan adiknya!
“Maaf aku harus pergi sekarang. Semoga cepat sembuh, bye!” tanpa menunggu balasan dari Luhan,
Se Hyun langsung berlari kencang.
Sesampainya di stasiun Se Hyun langsung menghampiri Sehun
yang duduk di salah satu bangku. Ekspresi wajahnya sangat tidak enak untuk
dilihat. Kening dikerutkan dan bibir mngerucut.
“Sehun-a!” Sehun
menoleh pada Se Hyun yang berdiri di sampingnya.
“Eo? Kukira kau
sudah melupakanku,” katanya sinis.
“Ei, jangan
begitu. Aku tidak mungkin melupakan adik manisku ini,” ucap Se Hyun.
“Cih,” sepertinya
Sehun benar-benar kesal.
“Baiklah, akan kubelikan bubble
tea nanti,” tak apalah uang sakunya berkurang daripada harus melihat muka
Sehun seperti ini.
“3 cup,” kata
Sehun datar.
“Apa? Kau mau memerasku ya?” Se Hyun tidak terima.
“Aku tidak akan memberikan sweatermu,” ancam Sehun.
“Hh, oke oke. 3 cup choco bubble tea,” Se Hyun menyerah.
Sehun tersenyum, “Ayo kita pulang,”
***
“Eomma tapi-“
“Sayang, kau pasti akan menyukainya. Percaya pada Eomma.”
Se Hyun bungkam, ia lalu beranjak dari meja makan menuju
kamar tidurnya. Se Hyun merebahkan diri di kasur dan menutupi seluruh tubuhnya
dengan selimut tebal. Suara isakannya samar terdengar.
Keinginan Se Hyun untuk tidur nyenyak selepas ujian
sepertinya harus sirna. Perjodohan. Itulah satu-satunya kata yang sekarang
berputar di kepala Se Hyun. Orang tuanya akan menjodohkannya dengan seseorang
yang entah seperti apa rupanya, Se Hyun juga tak tahu –dan tak mau tahu.
Menurut perkataan Appanya, lelaki itu adalah seorang direktur muda. Oh jadi Se
Hyun akan dijodohkan dengan seorang ahjussi?
Gadis yang malang.
Keluarga lelaki itu adalah keluarga yang sudah merawat Appa
Se Hyun setelah orang tuanya meniggal akibat kecelakaan sejak Appa Se Hyun berumur 10 tahun dan masih
tinggal di China. Keluarga itu yang menyekolahkan, memenuhi kebutuhan, dan
banyak membantu perusahaan Appa Se
Hyun setelah Appa Se Hyun memutuskan
untuk kembali ke Korea. Keluarga Se Hyun sungguh berhutang budi banyak pada
keluarga lelaki itu. Dan perjodohan ini sudah direncanakan sejak jauh-jauh
hari. Keluarga lelaki itu juga memutuskan untuk menetap di Korea Selatan
beberapa tahun yang lalu.
Sebenarnya, orang tua Se Hyun akan memberitahukan hal ini
sejak sebulan lalu. Tapi, karena Se Hyun sedang ujian semester dan takut
mengganggu konsentrasi anaknya, mereka menundanya hingga hari ini. Dan ya, Se
Hyun menolak mentah-mentah rencana ini.
Dijodohkan? Yang benar saja! Memangnya ia tidak laku apa?
Otaknya memang tak seencer Kim Joon Myeon –si
peringkat satu paralel di sekolahnya- tapi ia juga tak bisa dibilang bodoh,
Se Hyun selalu masuk 5 besar tiap tahunnya. Wajahnya juga tak secantik Park Ji
Yeon –primadona sekolah- tapi ia juga
tidak jelek, wajahnya lumayan imut-menurutnya. Tubuhnya.. oh, oke, tubuhnya
memang pendek, tak seperti Oh Sehun, adiknya. Tapi dari semua itu, jangan
lupakan 6 orang yang telah menyatakan cinta padanya 3 tahun terakhir, termasuk
Kris, pemuda Chinese-Canadian idaman tiap siswi di sekolahnya. See? Se Hyun tak akan kesulitan untuk
menemukan seorang pendamping hidup, seseorang yang benar-benar dicintai dan
juga mencintainya. Tak usah repot-repot dengan acara perjodohan.
“Noona, aku masuk
ya?” suara Sehun dari luar pintu. Pintu berdecit dan kepala Sehun menyembul
dari baliknya, “Noona,” panggilnya.
Tak ada jawaban, Se Hyun masih terisak.
“Baik, aku masuk,” tak ada yang mempersilakanmu Oh Sehun!
Sehun melangkah masuk sambil membawa 2 cup
bubble tea, 1 cup sudah dia minum
selama perjalanan pulang dari stasiun tadi. Sehun duduk di pinggir tempat tidur
Se Hyun, “Noona,” panggilnya lagi.
“Ada apa?” tanya Se Hyun datar dari balik selimut.
“Aku ingin berbagi bubble
tea,” Oh, adik yang manis.
“Aku tidak mau,” tolak Se Hyun.
“Aku tidak sanggup menghabiskannya sendiri,”
“Tinggalkan aku sendiri,”
“Noona, ayolah~”
Se Hyun pun menyingkap selimutnya, mendudukkan badannya di
kasur dan menatap Sehun yang kini sedang
tersenyum manis padanya, “Dasar keras kepala,” umpat Se Hyun. Sehun hanya
melebarkan senyumnya dan menyodorkan satu cup
bubble tea. Se Hyun menerimanya.
“Hm, noona,”
panggil Sehun lagi. Se Hyun hanya memberinya tatapan –ada-apa?- sambil
menyeruput bubble teanya. “Sebenarnya aku sudah bertemu dengan calon tunangan noona,” kata Sehun.
Uhuk! Se Hyun tersedak, “Mwo?”
“Aku bertemu beberapa kali dengannya selama sebulan
terakhir,” lanjut Sehun.
“Dan kau tidak memberitahuku apapun tentang ini?” tanya Se
Hyun tak percaya.
“Noona sedang
ujian semester, aku tak mau mengganggu konsentrasi noona,” ucap Sehun. Ya, Sehun benar, Se Hyun tak mungkin bisa
melewati masa ujian setenang kemarin kalau tahu masalah ini. Se Hyun mengangguk
paham, Sehun tersenyum lebar, “Noona
ingin tahu seperti apa orangnya?” Sehun berbinar dan tampak menggebu.
“Tidak,” ucap Se Hyun datar.
“Baiklah, dengarkan baik-baik ceritaku,” Sehun tersenyum lebar.
Hei! Tadi noonamu bilang “tidak”,
Sehun. Se Hyun hanya menghela nafas, percuma saja berdebat dengan orang keras
kepala macam adiknya.
“Ehm,” Sehun
bersiap memulai ceritanya. “Awalnya aku agak kaget saat pertama kali bertemu
dengannya, dia mirip denganku, menurutku dia tampan. Oh, aku tentu lebih tampan dan jauh lebih tinggi darinya. Tapi noona tenang saja, tinggi badannya akan
pas jika disandingkan dengan noona.
Dia juga baik, minggu lalu aku ditraktir bubble
tea.”
“Eo, jadi dia
mulai menyogokmu, huh?” tanya Se
Hyun.
“Bukan seperti itu noona,
dia memang baik. Sikapnya juga sopan, cara bicaranya, dia juga teman yang
menyenangkan menurutku,” sanggah Sehun.
“Tentu saja dia ingin terlihat baik di depanmu, Sehun-a, agar dia bisa mendapatkan hatimu lalu
dengan leluasa bisa mendekatiku. Ck,
membayangkannya saja aku sudah muak,” kata Se Hyun lalu menyeruput bubble teanya
“Aissh, kau ini.
Harusnya kau merasa beruntung mendapatkan namja
baik sepertinya,” ujar Sehun.
“Kalau begitu kau saja yang bertunangan,” suruh Se Hyun
dengan mulut yang masih menempel pada sedotan.
“Aku namja, pabo!”
Sehun mulai kesal.
“Ya! Mana sopan
santunmu, anak kecil?!” Se Hyun menjitak kepala adiknya.
“AW! Appo!” ucap
Sehun sambil mengelus kepalanya. “Hhss,
kasian sekali hyung itu harus dijodohkan dengan yeoja galak seperti noona,”
lanjutnya.
“Kau bilang apa barusan?!” tanya Se Hyun semakin galak.
Sehun langsung beranjak dari kasur dan menghindar saat
melihat Se Hyun akan menyerangnya dengan guling. “Noona memang galak, kan?”
kata Sehun lalu berlari keluar kamar.
“YA! OH SEHUN!”
***
Se Hyun berjalan menuruni tangga dengan santai. Hari ini ia
memutuskan untuk pergi ke salon bersama Jo Eun dan Hye Jin untuk sekedar
merapikan rambutnya dan creambath.
Biasanya, jika hari libur seperti ini, Se Hyun akan menghabiskan hampir
setengah harinya bergulung dalam selimut tebal kesayangannya. Namun
pengecualian untuk hari ini, kepalanya sudah hampir pecah kemarin saat
memikirkan perjodohan, jadi ia memutuskan untuk refreshing.
Saat di ruang tengah, Se Hyun melihat adiknya duduk malas di
sofa sambil memainkan PSPnya. Eh, tunggu, PSP ya?
“Hun, PSP baru?” tanya Se Hyun.
“Ne,” jawab Sehun
singkat, masih fokus pada PSPnya.
“Kapan Eomma
membelikannya?” tanya Se Hyun lagi.
“Bukan Eomma yang
membelinya,” jawab Sehun.
“Appa?” Sehun
menggeleng. “Lalu?”
“Bambi hyung
memberikannya untukku,” kata Sehun. “Dia baik, kan?” lanjut Sehun sambil
mendongak pada Se Hyun yang berdiri beberapa meter di depannya.
“Bambi hyung?
Siapa?” bingung Se Hyun.
“Calon tunangan noona,”
Sehun tersenyum.
“Ck, lagi-lagi kau
disuap,” Se Hyun mencibir. “Sudahlah, aku pergi,” Se Hyun menjadi sedikit badmood. Se Hyun berbalik lalu berjalan
menuju pintu sambil bergumam, “Bambi hyung?
Kenapa namanya aneh sekali?”
***
“Dijodohkan?!” pekik kedua orang gadis di dalam salon.
“Hei, pelankan
suara kalian,” gadis lain menanggapi kedua orang yang terlalu heboh itu dengan
malas.
“Se Hyun-a, kau
serius?” tanya salah satu gadis yang berteriak tadi.
“Bahkan kita belum lulus sekolah,” gadis satunya menimpali.
Se Hyun hanya menghela nafas berat. Jo Eun, Hye Jin, dan Se Hyun kini sedang
dipijat kepalanya.
“Kalian punya solusi?” tanya Se Hyun. Jo Eun dan Hye Jin
tampak berpikir serius.
“Carilah seorang kekasih,” usul Jo Eun pada akhirnya.
“2 minggu lagi keluargaku akan makan malam bersama di
rumahnya, itu tidak mungkin,” elak Se Hyun.
“Bagaimana dengan Kris? Bukankah sebelum ujian dia memintamu
untuk jadi kekasihnya? Mungkin kau bisa menarik kalimat penolakanmu padanya,”
Jo Eun kembali memberi saran. Se Hyun tampak menimang.
“Maksudmu memanfaatkan Kris?” tanya Hye Jin memastikan.
“Eum… tidak sepenuhnya, siapa tahu Se Hyun akan benar-benar
jatuh cinta pada Kris?” Jo Eun mengedikkan bahu.
“Ah, kau jahat
sekali Jo Eun-a, Kris terlalu tampan
untuk dipermainkan,” ucap Hye Jin.
“Dan terlalu sempurna untuk ditolak,” tambah Jo Eun sambil
melirik Se Hyun, bermaksud menyindir.
Se Hyun mendengus karena merasa tersindir. Lalu kembali
serius, “Sepertinya tidak bisa, bahkan Sehun tak berada di pihakku.” Se Hyun
selalu bercerita apapun pada adiknya, jadi Sehun tahu semua kehidupan Se Hyun.
Jika Se Hyun berpura-pura dengan Kris, pasti akan ketahuan karena sebelumnya Se
Hyun berkata pada Sehun kalau ia tidak menyukai Kris.
“Adikmu setuju dengan perjodohan ini?” tanya Hye Jin.
“Dia sudah disuap dengan bubble
tea dan PSP,” jawab Se Hyun.
“Hhh, andai kau
dulu menerima Kris, pasti ini akan lebih mudah,” kata Jo Eun.
“Benar, lagipula kenapa kau menolak Kris? Kau selalu menolak
mereka tanpa mengatakan alasan yang jelas pada kami, kau selalu bilang ‘aku
tidak menyukainya’,” tambah Hye Jin.
“Kris terlalu tinggi untukku,” ucap Se Hyun enteng.
“Apa?!” kaget Jo Eun dan Hye Jin kompak. “Kau menolaknya
hanya karena tinggi badan?” Jo Eun benar-benar tak percaya.
“Coba kalian bayangkan, berapa tinggi high heels yang harus kupakai saat menghadiri acara resmi bersama
hanya untuk mengimbangi tinggi badannya yang menyebalkan itu? Pasti akan sangat
menyiksa,” ucap Se Hyun ngeri.
Ya, sudah dikatakan sebelumnya bahwa tinggi badan Se Hyun
tak terlalu bagus, ia membawa gen ibunya yang tak terlalu tinggi, sedangkan
Sehun mewarisi gen ayahnya yang bisa dibilang cukup tinggi, dan Se Hyun juga
sempat berpikir kalau adiknya itu mengalami masalah pertumbuhan karena tinggi
badannya yang terus bertambah, sekarang saja sudah melebihi ayahnya.
“Tapi dulu kau menerima Chanyeol?” sanggah Hye Jin dengan
menyebut satu-satunya nama mantan kekasih Se Hyun yang juga memiliki tinggi
badan di atas rata-rata.
“Saat denganku, Chanyeol belum setinggi itu,” bantah Se
Hyun.
“Kau menolak Kim Joon Myeon, tentu bukan masalah tinggi
badan, kan?” tanya Jo Eun.
“Dia terlalu serius, aku tidak mau hubunganku hambar. Aku
juga bingung mengapa manusia jenius itu bisa menyukaiku,” jawab Se Hyun.
“Padahal senyum angelicnya
sangat menawan,” ucap Hye Jin sambil membayangkan wajah Joon Myeon yang sedang
tersenyum.
“Baekhyun? Dia orang yang lucu dan tak ada masalah dengan
tinggi badannya,” Jo Eun menyebutkan satu lagi namja yang mendapat penolakan
dari Se Hyun.
“Suaranya juga merdu, bayangkan saat kau dinyanyikan lullaby sebelum tidur, ah romantis sekali,” tambah Hye Jin
dengan khayalannya.
Se Hyun memutar bola matanya, “Ugh, bahkan dia lebih cerewet dari eommaku.”
“Jongdae?” sepertinya Jo Eun dan Hye Jin akan menginterogasi
Se Hyun hari ini.
“Dia orang yang ramah, suara tingginya juga luar biasa,” Hye
Jin kembali menyebutkan kelebihan namja
yang ditolak Se Hyun.
“Kau sudah pernah mendengar teriakannya? Kujamin telingamu
akan sakit,” Se Hyun memberikan alasannya lagi.
“Zitao?” Jo Eun menyebut nama murid pindahan asal Qingdao.
“Yaampun, Tao sangat keren saat memainkan tongkat wushu.
Kyaa~” puji Hye Jin.
“Wajahnya terlalu seram untuk aku yang imut. Wushu? Dia
bahkan takut pada kecoa,” Se Hyun lagi-lagi beralasan.
“Dan pria Changsa itu, siapa namanya? Ah, Yixing!” ini nama terakhir yang mungkin akan disebutkan Jo Eun.
“Senyumnya benar-benar manis dan lesung pipinya itu… ah, pokoknya dia benar-benar manis!” Hye
Jin kembali berfantasi.
“Aku takut dia tak akan mengingat jadwal kencan kita
nantinya. Atau mungkin ia akan lupa kalau aku adalah kekasihnya,” ucap Se Hyun
sambil mengingat sifat pelupa Yixing.
“Hh yaampun, Se
Hyun-a, aku benar-benar tidak percaya
kau menolak mereka hanya dengan alasan sesederhana itu,” Jo Eun geleng-geleng.
“Aku sempat berpikir kau belum bisa move on dari Park Chanyeol,” kata Hye Jin.
“Tentu saja tidak. Aku sudah melupakan Chanyeol sepenuhnya.
Sebenarnya dari kesemua alasan itu, yang paling kuat adalah memang aku belum
ingin menjalin hubungan untuk saat ini. Aku ingin fokus agar aku bisa masuk
fakultas kedokteran nantinya,” Se Hyun mengambil jeda dan menghela nafas. “Tapi yang terjadi malah seperti ini. Ah, sudahlah, jangan dipikirkan. Hari
ini aku ingin bersenang-senang dengan kalian,” lanjutnya lalu tersenyum. Kedua
temannya pun ikut tersenyum.
“Setelah ini kita makan, ya? Aku ingin Jjajjangmyeon,” usul Jo Eun.
***
Setelah makan siang dengan menu yang diusulkan Jo Eun,
mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Jo Eun harus membantu
ibunya di toko kue sedangkan Hye Jin mengantar adiknya les piano.
Se Hyun tidak langsung pulang ke rumah, melainkan mampir ke
kedai bubble tea langganan Sehun.
Meski tadi pagi ia mengabaikan Sehun yang berteriak meminta choco bubble tea, toh ujung-ujungnya ia
kemari juga. Ternyata rasa sayang Se Hyun pada adiknya masih lebih besar
dibanding kekesalannya.
Se Hyun menunggu pesanannya di meja dekat jendela sambil
menikmati es krim vanilla. Kedai ini juga menjual es krim dan beberapa jenis
kue, omong-omong. Se Hyun menyendok lelehan manis itu untuk kelima kalinya, hm, apa yang lebih nikmat dari memakan
es krim di siang hari pada musim panas?
“Se Hyun-ssi?”
gadis dengan warna rambut coklat gelap itu –ya, dia memutuskan untuk berganti
warna rambut saat di salon tadi- baru saja akan menyuapkan sesendok penuh es
krim ke dalam mulutnya saat ia merasa ada yang memanggil namanya. Ia mendongak
untuk mengetahui pemilik suara.
“Oh? Kau? Luhan, kan?”
Se Hyun sedikit terkejut yang datang ke mejanya adalah anak bertopi koala yang
kemarin ditolongnya. Ia membawa satu cup
bubble tea –sepertinya rasa taro- dan sepiring kecil strawberry shortcake.
“Boleh aku duduk disini, semua meja sudah penuh,” ucapnya.
Se Hyun tersenyum, “Kenapa tidak?”
“Terima kasih, Se Hyun-ssi,”
“Noona,”
“Apa?”
“Panggil aku noona
saja,”
Luhan sedikit kikuk saat gadis itu memintanya memanggil noona, “A-ah, baiklah. Terima kasih, noona,”
setelah itu Luhan duduk dan bersiap menyendok cake miliknya.
Ia tak menyadari Se Hyun terkikik geli saat melihat plester
di sikunya kemarin telah diganti dengan plester anak-anak berwarna biru
bergambar penguin lucu yang kalau Se Hyun tidak salah ingat, namanya pororo.
Anak ini begitu menggemaskan, sangat berbeda dengan adiknya yang sok dewasa.
Sehun bahkan menolak untuk memakai plester bergambar sejak kelas 3 SD, padahal
menurut Se Hyun itu sangat lucu dan imut.
Hah, berpikir
tentang Sehun jadi mengingatkannya pada masalah perjodohan lagi. Apa benar
orang yang dijodohkan dengannya adalah lelaki baik? Mendengar cerita orang
tuanya dan Sehun, memang ia sosok lelaki idaman. Kata Appa, ia lulus High School
pada usia 15 tahun dan sekarang ia baru saja selesai menyelesaikan jenjang S2,
sudah pasti otaknya jenius. Kata Eomma,
ia punya pribadi yang baik, sopan, dan murah senyum. Lalu, kata Sehun, ia juga
tampan. Sehun memiliki selera yang tinggi untuk menilai penampilan seseorang,
apalagi dengan sikap sok coolnya itu,
sangat luar biasa jika Sehun mengatakan kalau lelaki itu bisa menjadi teman
yang menyenangkan hanya dalam beberapa kali pertemuan.
“Noona,”
“Ah, ye?” lamunan
Se Hyun buyar seketika mendengar suara Luhan yang memanggilnya.
“Kenapa? Apa ada masalah?” tanya Luhan. Memang kentara sekali ya, di wajahku? Pikir Se Hyun.
“Ehm, ya. Lu, bagaimana jika kau dijodohkan dengan seseorang
yang bahkan kau tidak tahu seperti apa rupanya?” Se Hyun meminta pendapat Luhan.
Ya, meskipun gadis itu tak yakin Luhan bisa memberinya solusi karena bahkan
usianya lebih muda.
“Apa orang tua noona
menjodohkan noona?”, Se Hyun
mengangguk pasrah sambil menghela nafas panjang.
“Orang tuaku menjodohkanku dengan anak temannya,” Se Hyun akhirnya
bercerita pada Luhan. Se Hyun juga tidak tahu mengapa ia bisa menceritakan
masalahnya pada orang yang baru saja dikenalnya kemarin.
“Lalu, kenapa noona
terlihat sedih?” tanya Luhan. Se Hyun jadi bingung.
“Jika kau ada di posisiku, apa kau tidak akan sedih?” Se
Hyun bertanya balik.
Luhan menggeleng sambil tersenyum, “Setiap orang tua pasti
menyayangi anaknya, kan? Begitu juga
orang tua noona. Mereka tidak akan
memilihkan seseorang yang buruk bagi masa depan anaknya,” ucap Luhan. Dalam
hati, Se Hyun membenarkan perkataan Luhan. Lagipula, sejauh ini belum ada sifat
buruk yang Se Hyun ketahui dari anak teman Appanya itu.
“Tapi aku sama sekali tak mengenalnya, bertemu saja tidak
pernah. Bagaimana kalau aku tidak mencintainya? Lagipula aku siswi kelas 3 dan
harus fokus pada sekolah agar bisa masuk perguruan tinggi. Aku tidak ingin dia
terus mengirimiku pesan dan menggangguku,” Se Hyun masih menyangkal.
“Bukankah cinta butuh proses? Apa noona pernah dengar pepatah yang mengatakan ‘cinta datang karena
terbiasa’? Noona masih punya waktu
untuk mengenalnya lebih jauh dan belajar untuk mencintainya, begitu pula
sebaliknya. Jika memang ia bukan pria yang baik, noona bisa bicara dengan orang tua noona, dan aku yakin mereka akan mengerti. Tapi percayalah, tak ada
yang tega menyakiti gadis cantik seperti noona,
ia pasti akan merasa sangat beruntung. Noona tidak akan langsung menikah, kan? Noona bisa membuat kesepakatan dengannya
agar tidak terlalu mengganggu sekolah noona,
kurasa,” Luhan berkata panjang lebar dan ditutup dengan senyum yang tak kalah
lebarnya.
Se Hyun sedikit merona saat Luhan bilang kalau dirinya
cantik. Oh, semoga saja Luhan tak
sadar pipinya tadi sempat memerah. Kemudian Se Hyun diam sambil menatap Luhan
yang kembali menyendok cakenya. Ia
merasa bahwa Luhan jauh lebih dewasa darinya karena pemikiran Luhan tadi. Anak
laki-laki ini, belajar darimana kalimat-kalimat yang diucapkannya barusan?
Luhan mendongak pada Se Hyun yang sedang menatapnya, lalu
tersenyum. Se Hyun pun ikut tersenyum, ia tahu yang dikatakan Luhan tadi benar.
“Luhan.”
“Ya?”
“Terima kasih,”
***
A week later
“Eomma, tapi dressku masih banyak,” keluh seorang
gadis yang masih berlindung dalam selimut tebalnya.
“Oh, ayolah sayang. Ini momen spesial. Eomma menginginkan
penampilan terbaikmu,” kedua Ibu-anak itu tetap berdebat.
“Tidak mau, ini hari Minggu, Eomma. Aku ingin istirahat,”
gadis itu tetap menolak ajakan sang eomma.
“Baiklah, kalau begitu Eomma akan menyimpan benda ini sampai
bulan depan,” kata eomma sambil mengambil benda hitam kotak di atas nakas.
Refleks, mata Se Hyun –gadis itu- langsung membulat.
“Aku siap 15 menit lagi!”
***
Se Hyun terus menggerutu di sepanjang jalan. Setelah ia
menyetujui pertemuan dengan keluarga itu, hidupnya justru semakin rumit. Tidak,
sebenarnya bukan dia, hanya ibunya lah yang terus menyuruhnya perawatan ini
itu, sampai sikap dan cara berjalan juga diperhatikan,sungguh merepotkan.
Setelah sampai di boutique,
Se Hyun terus memainkan ponselnya. Ia membiarkan sang eomma yang memilih berbagai barang untuknya, gadis itu benar-benar
tidak berminat dengan semua ini. Mereka pun pulang dengan banyak kantong berisi
belanjaan yang Se Hyun tak tahu apa isinya.
Se Hyun terkejut setengah mati saat sore harinya ia baru
membuka belanjaan siang tadi. Eomma
membelikannya gaun panjang tanpa lengan berwarna merah marun yang sangat anggun
dan high heels setinggi..eum..-entahlah mengira-ngira tingginya
saja sudah membuat Se Hyun ingin pingsan.
“Hai noona! Oh,
itu baju untuk makan malam dengan keluarga Bambi hyung, ya?” suara Sehun yang tiba-tiba muncul membuat Se Hyun
menoleh ke arah pintu.
“Ck, lain kali
ketuk dulu,” Se Hyun kembali fokus mengamati gaunnya.
Sehun mengendikkan bahu, “Pintunya tidak kau tutup.”
“Hm, noona,”
panggil Sehun.
“Apa?”
“Kenapa akhirnya noona
mau bertemu dengan Bambi hyung?”
Se Hyun berpikir, ia sebenarnya juga tidak tahu kenapa
menyetujui rencana yang menurutnya konyol ini. Hanya saja, entah mengapa
kata-kata Luhan waktu itu mampu membuatnya yakin untuk menjalani semuanya. “Aku juga tidak tahu. Tapi aku sudah hidup
bahagia selama ini, jadi aku hanya ingin membahagiakan eomma dan appa,” kata Se
Hyun lalu tersenyum.
“Noona.”
“Hm?”
“Percayalah, kau juga akan bahagia.”
***
Hari itu pun tiba. Hari dimana akhirnya Se Hyun akan bertemu
dengan orang yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Ia sudah siap dengan
gaun dan sepatu pemberian eommanya tempo hari. Rambut lurusnya dibuat sedikit
bergelombang dan dibiarkan tergerai indah menutupi sebagian bahunya.
“Woah, noona
memang noonaku yang paling cantik,”
ucap Sehun bangga setelah beberapa detik mengamati penampilan Se Hyun dari
ujung kepala sampai ujung kaki.
Se Hyun menjitak pelan kepala Sehun setelah bocah lelaki itu
berada di hadapannya, “Noonamu memang
hanya satu Oh Sehun!”
“Aish, noona,
rambutku jadi berantakan,” kesal Sehun.
“Tak apa, kau tetap tampan.”
“Ya, aku tahu. Aku selalu tampan bagaimanapun keadaanku,”
ucap Sehun yang kemudian berhasil membuat noonanya memutar bola mata jengah.
Sepuluh menit setelahnya keluarga Oh sudah duduk di mobil
dan bersiap berangkat. Appa duduk di
belakang kemudi dengan eomma di
sampingnya, sedangkan kedua anak mereka duduk manis di kursi belakang. Setelah
memasang sabuk pengaman, appa menginjak gas lalu mobil berjalan dengan
kecepatan normal.
“Noona, aku yakin
kau dan Bambi hyung akan saling
mencintai,” bisik Sehun.
“Namanya Bambi? Aneh sekali,” komentar Se Hyun.
Sehun menggeleng, “Bukan. Aku memanggilnya Bambi karena dia
mirip dengan rusa Disney yang namanya Bambi itu.”
“Eh? Mukanya seperti rusa?” tanya Se Hyun.
“Yap!”
“Apa dia bertanduk?”
“Noona!”
***
Jantung Se Hyun berdegup kencang saat ia telah sampai di
tempat tujuan. Ia merasa sedikit grogi –ehm,
mungkin banyak. Sementara Sehun sudah berjalan jauh di depan dan tampak menyapa
wanita paruh baya yang menyambut kedatangan mereka, Se Hyun masih berusaha
berjalan normal dengan heels
tingginya beberapa meter di belakang.
Se Hyun tersenyum saat berhadapan dengan wanita yang disapa
Sehun tadi, seribu persen yakin itu adalah calon-ya, kau bisa lanjutkan
sendiri. “Ini pasti Se Hyun, kan? Aigoo,
kau cantik sekali,” ucap wanita itu ramah.
“Ah, ne. Kamsahamnida,” balas Se Hyun sopan.
“Ajhumma, mana
Luhan hyung?” tanya Sehun.
“Oh, ada di dalam. Mungkin sedang bermain dengan Mong.
Kalian masuk saja,” katanya lalu mempersilakan masuk.
“Kamsahamnida ajhumma,”
ucap Sehun lalu menggandeng Se Hyun ke dalam tanpa mempedulikan dahi Se Hyun
yang berkerut setelah mendengar nama familiar menyapa telinganya. Setelah itu
orang tua mereka tampak berbincang akrab dengan ibu Luhan.
Sehun terus menggandeng Se Hyun masuk ke dalam rumah, lalu
mereka tak sengaja bertemu dengan seorang lelaki yang menggendong seekor anjing
kecil berwarna cokelat. “Luhan hyung,”
panggil Sehun yang sepertinya ditujukan untuk lelaki tadi.
“Eo, Sehun-a,”
yang dipanggil Luhan menoleh pada Sehun.
Mata Se Hyun terbelalak kaget, “Luhan?!”
Sehun menoleh pada noonanya,
“Noona, setidaknya kau memanggilnya oppa atau gege,” tegur Sehun.
“Kau bercanda? Dia pasti seumuran denganmu,” sanggah Se
Hyun.
“Oh, hai noona,”
sapa Luhan.
“Eh? Kalian saling kenal? Hyung, kenapa memanggil noona?”
Sehun jadi semakin bingung.
“Sehun, kau mengenal Luhan?” tanya Se Hyun.
“Tentu saja, noona.
Luhan hyung itu calon tunangan noona,”
jawab Sehun.
“A-apa?”
Di tengah kebingungan mereka, Ibu Luhan datang, “Luhan,
kenapa kau belum berganti pakaian hm?
Cepat turunkan Mong dan segera bergabung untuk makan malam. Se Hyun, Sehun, ayo
kita ke meja makan.”
“Ah, ne Eomma,”
jawab Luhan kemudian menaiki tangga ke lantai dua.
***
Se Hyun sudah bisa mencerna semuanya. Sehun bercerita
singkat sepanjang mereka berjalan menuju meja makan. Ia sudah tahu kalau Luhan
adalah calon tunangannya. Tapi kenapa Luhan tampak biasa-biasa saja tadi? Luhan
tak tampak terkejut sama sekali.
“Noona,” panggil
Sehun pelan selagi orang tua mereka berbincang sambil menunggu Luhan. Se Hyun
menoleh lalu memasang ekspresi –ada-apa-. “Darimana kau mengenal Bambi hyung?” tanya Sehun. Dahi Se Hyun
sedikit berkerut, namun tak lama kemudian ia paham yang dimaksud Sehun adalah
Luhan.
“Nanti ku ceritakan,” jawab Se Hyun singkat.
“Oke, kau berhutang cerita padaku, noona.”
“Ah, maaf. Aku membuat kalian menunggu lama,” Luhan yang
baru saja datang langsung membungkuk meminta maaf. Dandanan Luhan berubah. Tak
ada lagi poni yang menutupi dahinya, rambutnya dinaikkan ke atas dan diberi
sedikit gel. Setelan jas pas badan tampak melekat sempurna di tubuh lelaki itu.
Ia benar-benar membuang image cute
malam ini. Dandanan yang membuat Luhan jauh lebih dewasa dari pertama Se Hyun
bertemu dengannya. Se Hyun? Oh, seseorang tolong ingatkan gadis itu untuk
sekedar mengedipkan matanya.
“Noona, tidak
perlu memandangnya seperti itu,” kikik Sehun yang akhirnya mampu menghempaskan
Se Hyun kembali ke dunia nyata.
Luhan duduk berhadapan dengan Se Hyun lalu tersenyum manis
pada gadis itu. Astaga, apa dia sedang
merencanakan pembunuhan padaku? Jantungku seakan mau meledak! Se Hyun hanya
membalas dengan senyum tipis.
Makan malam berlangsung lancar. Para orang tua membicarakan
rencana perjodohan yang sebenarnya membuat Se Hyun ingin sekali meninggalkan
acara itu. namun entah mengapa melihat Luhan yang makan dengan tenang
dihadapannya, keinginan Se Hyun langsung menguap begitu saja.
Setelah makan malam, Luhan mengajak Se Hyun ke halaman
belakang, untuk saling mengenal, katanya. Dan ya, disinilah mereka sekarang,
duduk di salah satu bangku kayu panjang. Langit malam sedikit mendung, jadi tak
begitu banyak bintang yang dapat terlihat menemani bulan sabit.
“Jadi Lu-, maksudku, gege.
Kau sudah tahu aku sebelumnya?” tanya Se Hyun memecah keheningan.
“Ya. Aku bahkan tahu kau sejak setahun lalu. Appa yang memberiku fotomu. Sebulan
terakhir, aku beberapa kali ke rumahmu. Malangnya, waktuku selalu tidak tepat
dan hanya bertemu dengan Sehun. Sehun bercerita banyak tentangmu. Dia bilang
kau adalah noona terbaik dan ia
sangat menyayangimu meskipun kadang kau galak,” terang Luhan.
“Lalu, kenapa kau tidak bilang?”
“Aku hanya ingin mengetahui bagaimana sikapmu yang
sebenarnya.”
“Dan apa yang kau dapat, Luhan-ssi? Ah, aku bingung harus memanggilmu dengan tambahan –ssi atau gege.”
“Benar kata Sehun, kau orang yang perhatian. Kau mengobati
lukaku dengan baik waktu itu, terima kasih. Kau orang yang mau menerima saran
dari orang lain, bukan begitu? Kau datang kemari karena saranku saat di kedai
bubble tea? Dan aku senang karena kau bukan orang yang egois. Kata Sehun, kau
menerima perjodohan ini agar tidak mengecewakan orang tuamu. Untuk panggilan,
sepertinya gege terdengar lebih
baik,” kata Luhan.
“Woah, gege, bukankah ini tidak adil? Kau
mengetahui banyak tentangku sedangkan aku tak tahu apapun mengenaimu,” protes
Se Hyun.
Luhan terkekeh, “Kita masih punya banyak waktu untuk saling
mengenal.” Se Hyun mengangguk.
“Eung, gege. Boleh
aku tanya satu hal?”
“Katakan saja.”
“Berapa usiamu?”
“Aku? 21 tahun.”
“A-ah, maaf aku
sok tahu. Harusnya kau bilang dari awal, jadi tidak perlu memanggilku noona,” sesal Se Hyun.
“Haha, tak apa.”
Keheningan menyelimuti mereka berdua setelahnya. Se Hyun
memandang langit, berharap hari-harinya ke depan akan lebih baik dengan
kehadiran Luhan. “Haah, kenapa bintangnya sedikit sekali malam ini?”
“Mungkin mereka takut akan cemburu jika melihat kita
berdua,” sahut Luhan.
“Uh, so cheesy,”
timpal Se Hyun. Kemudian mereka tertawa.
“Aku tidak menuntutmu untuk mencintaiku sekarang, tapi aku
harap kau mau berusaha. Aku tidak mau kau terpaksa mencintaiku karena orang tua
kita. Meskipun kita dijodohkan, aku ingin perasaan kita tulus satu sama lain,
tak ada pihak yang dirugikan. Kupikir orang tua kita pun tak bisa memaksakan
jika kita tak bisa saling mencintai nantinya,” kata Luhan serius.
“Kau tahu, gege.
Sehun pernah berkata bahwa aku beruntung mendapatkanmu, ia yakin aku akan
bahagia nantinya. Dan kupikir ia benar.”
***
Two months later
“Se Hyun-a.” Gadis
yang merasa dirinya dipanggil sontak menoleh ke belakang dan melempar pandangan
bertanya. “Ibu Hye Jin membuka cabang boutique
baru, ada diskon besar-besaran, mungkin jika sedikit merayu kita bisa dapat
gratis. Kau mau ikut?” tanya Jo Eun.
“Ah, aku tidak-“
“Sedang mengantuk, nona Oh? Kau ini benar-benar ya,” cibir
Jo Eun.
“Eum, sebenarnya
tidak juga,” sanggah Se Hyun.
“Lalu?”
TIN !TIN! Suara klakson
terdengar sebelum Se Hyun sempat member Jo Eun alas an. Sebuah sedan hitam
berhenti di depan mereka berdua. Sang pemilik membuka sebelah kaca mobil, “Hey Honey, maaf sedikit terlambat,”
ucapnya.
“It’s okay, Gege.
Jo Eun, sampaikan salamku untuk Hye Jin dan ibunya. Maaf aku tidak bisa datang
dan- ah, jika benar bisa mendapat gratis, mungkin kau bisa memilihkan sebuah dress untukku. Bye Jo~” Se Hyun kemudian masuk ke dalam mobil meninggalkan Jo Eun
yang masih melongo.
Beberapa detik setelah mobil melaju, Jo Eun baru tersadar
dari keterkejutannya, “Ya! Oh Se
Hyun!” teriaknya yang langsung ditatap aneh oleh orang-orang sekitarnya.
Tak lama kemudian ponselnya bergetar, pesan masuk.
From : Se Hyun
Jo Eun-a, itu tadi Luhan, anak teman Appaku yang dulu pernah kuceritakan. Ya, kau
bisa menyebutnya kekasihku sekarang. Maaf aku tidak pernah bercerita banyak
padamu dan Hye Jin karena memang kami jarang bertemu. Ini pertama kalinya kami
bertemu sejak pertunangan kami sebulan yang lalu. Tenang saja, aku pasti akan
mengenalkannya pada kalian. Dan yang perlu kau tahu, dia berkali lipat lebih
baik dari Kris, Junmyeon, atau siapapun, kkk~
“Astaga, bahkan aku tidak tahu dia sudah bertunangan,” gumam
Jo Eun.
To : Se Hyun
Ya! Kau berhutang
banyak cerita padaku dan Hye Jin. Kita harus bertemu secepatnya, aku tidak mau
tahu. Ah, tapi aku senang, sepertinya kau benar-benar jatuh cinta padanya. Have
a great day, Se Hyun-i. Omong-omong, selera orang tuamu bagus
juga.
***
Se Hyun tak pernah menyesal telah menolak namja populer
berdarah Chinese-Canadian macam Kris,
si Jenius pemilik unlimited credit card,
Kim Joonmyeon, pemilik suara emas, Baekhyun dan Jongdae, master wushu, Huang
Zitao, maupun sweetie Changsha prince berlesung pipi, Zhang Yixing. Ia
sangat bersyukur dan merasa beruntung bisa mendapatkan Xi Luhan, warm hearted guy with his cutie baby face
who likes taro bubble tea.
*FIN*
A/N : Fiuhh akhirnya selesai juga, sebenernya ini ide
terinspirasi sejak Luhan di showtime pake topi koala itu. Ide sudah mengendap
terlalu lama di otak, belum lagi smpet macet pas kasusnya Lulu kemarin. Untuk
judul, oke itu absurd banget, aku tau. Bener-bener mentok udah nggak nemu judul
yang lebih kreatif. Maaf untuk segala typo(s) and thanks for reading~