Just a short story with unnamed casts
Angin musim gugur menerbangkan beberapa dedaunan kering ke
arah timur, bermain dengan helaian rambut seorang gadis yang sedang berjalan
dengan tenang. Menyusuri jalan yang begitu familiar membuat si gadis
menyunggingkan senyum tipis.
Melangkah sambil memutar kepingan-kepingan masa lalu,
membuat gadis itu tak sadar kaki jenjangnya telah mencapai destinasi. Obsidiannya
menyapu sekeliling, ada beberapa hal yang berubah sejak terakhir kali ia kemari.
Sekolah dasar.
Ya, sekarang gadis bersurai cokelat gelap itu sedang duduk di
pinggir halaman sekolah dasarnya dulu. Sepi, tentu saja karena ini hari Minggu
sore. Meraup oksigen bebas guna mengisi alveolusnya sambil memejamkan mata
menjadi kegiatan yang menenangkan.
Si gadis memang sering kemari kala ia merindukan masa kecilnya
-dan seseorang di masa kecilnya, mungkin. Seseorang yang mengambil hatinya dan
belum dikembalikan. Ah, benar. Bagaimana kabarnya sekarang?
Mereka selalu berada di sekolah yang sama, tapi hampir tak
pernah mengobrol. Sebutan teman mungkin agak berlebihan menurut si gadis. Ia
lebih suka menyebutnya sebagai seseorang-yang-setiap-hari-kulihat-di-sekolah-tapi-kami-tak-pernah-mengobrol-lalu-bagaimana-bisa-aku-jatuh-hati-padanya-?-
Ia ingat, seseorang itu adalah anggota band saat sekolah
dasar. Suatu hari, ia datang terlalu pagi ke sekolah. Hanya ia sendiri yang ada
di kelas. Beberapa menit kemudian, seorang anak lelaki datang. Bocah itu hanya
menaruh tas di bangkunya dan berjalan ke luar kelas sambil membawa sepasang
stik drum. Beberapa hari setelahnya, bocah lelaki itu tampil memukau bersama
para anggota band lain di acara sekolah. Oh, jangan lupa, saat itu mereka masih
duduk di bangku kelas tiga dan si bocah lelaki adalah anggota band termuda.
Entahlah. Seperti ada sesuatu dalam diri bocah lelaki itu
yang membuat si gadis suka memperhatikannya. Semacam- ia memang terlahir
menarik, mungkin.
Saat kelas lima, si bocah lekaki tergabung dalam tim futsal.
Pernah sekali gadis itu menonton pertandingannya, dan ia memang memperhatikan
bocah lelaki itu sepanjang pertandingan. Mulai dari peluhnya yang menetes
hingga senyum lebarnya seusai mencetak gol. Waktu itu, pikiran gadis itu hanya
sederhana. Tentu saja ia memperhatikan karena bocah itu seorang striker dan
sering menguasai bola.
Mereka bertemu lagi di sekolah menengah, kali ini tidak sekelas.
Tak apa, toh mengetahui fakta mereka satu sekolah saja sudah membuat si gadis
mengembuskan napas lega.
Bocah lelaki itu bergabung dengan tim basket kali ini. Di
sekolahnya tak ada ekstrakurikuler futsal. Dan si gadis tetap mengaguminya.
Kagum?
Iya. Si gadis lebih menyebutnya sebagai perasaan kagum akan
si bocah lelaki. Perasaan kagum terhadap seseorang yang dianggapnya keren dan
multitalenta. Tak ada yang salah, kan?
Begitulah anggapannya hingga hari itu datang. Selasa, pukul
empat sore.
Awan kelabu masih setia menaungi bumi. Angin dan guntur juga
sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Gadis itu berdiri di lobi
sekolah dengan raut cemas. Merutuki sifat pelupanya, ugh padahal ia sudah
meletakkan payung di kursi depan tadi.
Sekolah mulai sepi, hanya segelintir anak yang melewatinya
dan langsung berjalan pulang. Ia bukan gadis populer, dan sayangnya tak ada seorang
pun yang ia kenal. Sampai sebuah tangan menepuk pundaknya, "Astaga!"
ia berjengit lalu menoleh ke belakang, menemukan wajah yang familiar,
"Kamu mengagetkanku," ucapnya sambil menenangkan jantungnya yang
berdegup kencang. Efek terkejut, tentu saja.
Bocah lelaki itu. Sosok yang ia kagumi. Terkekeh pelan dan
meminta maaf, "Kamu nggak pulang?"
"Aku lupa bawa payung, jadi harus nunggu hujan reda."
"Mau pulang bersama? Ya, itu pun kalau kamu nggak
keberatan berbagi payung denganku," ia mengedikkan bahunya.
"Nggak deh, nanti ngerepotin."
Bocah lelaki itu tersenyum lalu membuka payungnya,
"Ayo, rumah kita kan searah."
Perjalanan mereka dilingkupi keheningan. Hanya gema rintik
hujan yang menjadi senandung menenangkan mengetuk gendang telinga mereka. Keduanya
tak punya topik untuk dibicarakan.
Sesampainya di rumah, gadis itu mengucapkan terima kasih lalu
berbalik masuk. Begitu ia menutup pintu satu hal yang disadarinya, efek
keterkejutannya belum hilang.
Dan hari-hari berikutnya ia tahu, jantungnya tak akan
bekerja normal lagi jika ia berdekatan dengan bocah itu.
Langit jingga perlahan meredup, sang pusat tata surya malu-malu
bersembunyi di ufuk barat, memaksa si gadis untuk mengayunkan kakinya, membiarkan
bayang-bayang masa lalu tersimpan rapi dalam benaknya.
Langkah gadis itu terhenti di lima puluh meter pertamanya,
menemukan sepasang oxford terpasang angkuh pada pemiliknya. Si gadis mendongak,
menemukan manik gelap yang dirindunya, yang selalu memerangkap dirinya, menenggelamkannya
begitu dalam.
Detak jantung gadis itu semakin menggila seiring waktu yang
seakan melamban, sampai ia takut kalau-kalau pria dihadapannya ini dapat
mendengarnya. Ya. Pria. Bocah lelaki yang beberapa sekon lalu memenuhi pikirannya
kini telah tumbuh menjadi seorang pria mempesona. Ah, dia 'kan memang selalu menawan.
Sebuah lengkungan terpatri sempurna pada wajah si pria,
memamerkan dua lesung pipi samar dan membuat netranya serupa bulan sabit.
Dan pada saat itu, gadis ini tahu, perasaanya masih sama.
Kkeut!
rrr.. just slice of my life
0 komentar:
Posting Komentar