Translate

Minggu, 13 September 2015

Untittled



 Just a short story with unnamed casts
 
Angin musim gugur menerbangkan beberapa dedaunan kering ke arah timur, bermain dengan helaian rambut seorang gadis yang sedang berjalan dengan tenang. Menyusuri jalan yang begitu familiar membuat si gadis menyunggingkan senyum tipis.


Melangkah sambil memutar kepingan-kepingan masa lalu, membuat gadis itu tak sadar kaki jenjangnya telah mencapai destinasi. Obsidiannya menyapu sekeliling, ada beberapa hal yang berubah sejak terakhir kali ia kemari.

Sekolah dasar.

Ya, sekarang gadis bersurai cokelat gelap itu sedang duduk di pinggir halaman sekolah dasarnya dulu. Sepi, tentu saja karena ini hari Minggu sore. Meraup oksigen bebas guna mengisi alveolusnya sambil memejamkan mata menjadi kegiatan yang menenangkan.

Si gadis memang sering kemari kala ia merindukan masa kecilnya -dan seseorang di masa kecilnya, mungkin. Seseorang yang mengambil hatinya dan belum dikembalikan. Ah, benar. Bagaimana kabarnya sekarang?

Mereka selalu berada di sekolah yang sama, tapi hampir tak pernah mengobrol. Sebutan teman mungkin agak berlebihan menurut si gadis. Ia lebih suka menyebutnya sebagai seseorang-yang-setiap-hari-kulihat-di-sekolah-tapi-kami-tak-pernah-mengobrol-lalu-bagaimana-bisa-aku-jatuh-hati-padanya-?-

Ia ingat, seseorang itu adalah anggota band saat sekolah dasar. Suatu hari, ia datang terlalu pagi ke sekolah. Hanya ia sendiri yang ada di kelas. Beberapa menit kemudian, seorang anak lelaki datang. Bocah itu hanya menaruh tas di bangkunya dan berjalan ke luar kelas sambil membawa sepasang stik drum. Beberapa hari setelahnya, bocah lelaki itu tampil memukau bersama para anggota band lain di acara sekolah. Oh, jangan lupa, saat itu mereka masih duduk di bangku kelas tiga dan si bocah lelaki adalah anggota band termuda.

Entahlah. Seperti ada sesuatu dalam diri bocah lelaki itu yang membuat si gadis suka memperhatikannya. Semacam- ia memang terlahir menarik, mungkin.

Saat kelas lima, si bocah lekaki tergabung dalam tim futsal. Pernah sekali gadis itu menonton pertandingannya, dan ia memang memperhatikan bocah lelaki itu sepanjang pertandingan. Mulai dari peluhnya yang menetes hingga senyum lebarnya seusai mencetak gol. Waktu itu, pikiran gadis itu hanya sederhana. Tentu saja ia memperhatikan karena bocah itu seorang striker dan sering menguasai bola.

Mereka bertemu lagi di sekolah menengah, kali ini tidak sekelas. Tak apa, toh mengetahui fakta mereka satu sekolah saja sudah membuat si gadis mengembuskan napas lega.

Bocah lelaki itu bergabung dengan tim basket kali ini. Di sekolahnya tak ada ekstrakurikuler futsal. Dan si gadis tetap mengaguminya.

Kagum?

Iya. Si gadis lebih menyebutnya sebagai perasaan kagum akan si bocah lelaki. Perasaan kagum terhadap seseorang yang dianggapnya keren dan multitalenta. Tak ada yang salah, kan?

Begitulah anggapannya hingga hari itu datang. Selasa, pukul empat sore.

Awan kelabu masih setia menaungi bumi. Angin dan guntur juga sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Gadis itu berdiri di lobi sekolah dengan raut cemas. Merutuki sifat pelupanya, ugh padahal ia sudah meletakkan payung di kursi depan tadi.

Sekolah mulai sepi, hanya segelintir anak yang melewatinya dan langsung berjalan pulang. Ia bukan gadis populer, dan sayangnya tak ada seorang pun yang ia kenal. Sampai sebuah tangan menepuk pundaknya, "Astaga!" ia berjengit lalu menoleh ke belakang, menemukan wajah yang familiar, "Kamu mengagetkanku," ucapnya sambil menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Efek terkejut, tentu saja.

Bocah lelaki itu. Sosok yang ia kagumi. Terkekeh pelan dan meminta maaf, "Kamu nggak pulang?"

"Aku lupa bawa payung, jadi harus nunggu hujan reda."

"Mau pulang bersama? Ya, itu pun kalau kamu nggak keberatan berbagi payung denganku," ia mengedikkan bahunya.

"Nggak deh, nanti ngerepotin."

Bocah lelaki itu tersenyum lalu membuka payungnya, "Ayo, rumah kita kan searah."

Perjalanan mereka dilingkupi keheningan. Hanya gema rintik hujan yang menjadi senandung menenangkan mengetuk gendang telinga mereka. Keduanya tak punya topik untuk dibicarakan.

Sesampainya di rumah, gadis itu mengucapkan terima kasih lalu berbalik masuk. Begitu ia menutup pintu satu hal yang disadarinya, efek keterkejutannya belum hilang.

Dan hari-hari berikutnya ia tahu, jantungnya tak akan bekerja normal lagi jika ia berdekatan dengan bocah itu.

Langit jingga perlahan meredup, sang pusat tata surya malu-malu bersembunyi di ufuk barat, memaksa si gadis untuk mengayunkan kakinya, membiarkan bayang-bayang masa lalu tersimpan rapi dalam benaknya.

Langkah gadis itu terhenti di lima puluh meter pertamanya, menemukan sepasang oxford terpasang angkuh pada pemiliknya. Si gadis mendongak, menemukan manik gelap yang dirindunya, yang selalu memerangkap dirinya, menenggelamkannya begitu dalam.

Detak jantung gadis itu semakin menggila seiring waktu yang seakan melamban, sampai ia takut kalau-kalau pria dihadapannya ini dapat mendengarnya. Ya. Pria. Bocah lelaki yang beberapa sekon lalu memenuhi pikirannya kini telah tumbuh menjadi seorang pria mempesona. Ah, dia 'kan memang selalu menawan.

Sebuah lengkungan terpatri sempurna pada wajah si pria, memamerkan dua lesung pipi samar dan membuat netranya serupa bulan sabit.

Dan pada saat itu, gadis ini tahu, perasaanya masih sama.



Kkeut!

rrr.. just slice of my life

0 komentar:

Posting Komentar

 
C's Blogger Template by Ipietoon Blogger Template