Translate

Minggu, 04 Oktober 2015

Tugas Bahasa Indonesia 3 : Cerpen "Of The Beach and Her Story"



Of The Beach and Her Story

Nurul Cholifah’s story line.



Inspired by Juniel – Illa Illa



Van (OC) & Jill (OC) ; Angst ; 1000+ words


Masih kuingat dengan jelas, musim gugur pertamaku di Busan. Ketika itu, kamu melihatku yang sedang duduk di teras rumah. Kamu memandangku sambil mengerutkan dahi, begitu serius sampai kamu lupa sedang mengendarai sepeda. Naasnya, sebuah batu yang cukup besar menginterupsi laju sepedamu hingga kamu jatuh tersungkur. Aku yang khawatir lalu menghampirimu, bertanya apakah kamu baik-baik saja. Kamu langsung berdiri seolah lecet di kakimu bukanlah apa-apa, berkata bahwa kamu baik-baik saja kemudian masuk ke rumahmu dengan gelagat panik, meninggalkanku secepat angin bersama aroma susu cokelat yang menguar di indera penciumanku.



Keesokan harinya, bu guru memperkenalkanku di depan kelas lalu aku disuruh menempati bangku di sampingmu. Kamu tersenyum lebar menyambutku, mengajakku bersalaman sambil menyebutkan namamu. Senyum pertamamu untukku.

Kamu bercerita perihal penghuni rumah sebelum keluargaku pindah adalah orang yang menyeramkan dan mengira aku adalah salah satu anggota keluarga mereka. Itulah kenapa kamu langsung panik saat bertemu denganku pertama kali.  Tapi kamu senang begitu tahu punya tetangga baru.

Kamu seorang penggebuk drum. Kelas tiga sekolah dasar saat pentas seni sekolah, aku mengagumi dirimu yang duduk dibalik drum –bahkan tubuh mungilmu hanya terlihat sepertiganya. Jemari tanganmu yang lihai memutar stik serta tubuhmu yang seolah menyatu dengan alunan lagu. Hah. Pantas saja banyak bocah perempuan yang menempelimu.

Seolah belum puas dengan kemampuan drum, kamu mengakrabkan jemarimu dengan senar gitar dan bass. Suatu senja di bulan Juli, kamu memamerkan permainan intro beberapa kunci. Aku bertepuk tangan seusai konser solo singkat itu yang membuatmu memamerkan deretan gigi putihmu.

Kita banyak menghabiskan waktu bersama sampai masa sekolah menengah tiba. Aromamu tidak lagi semanis susu cokelat, melainkan segagah parfum Armani. Rambutmu tidak lagi berponi, kamu memotongnya cukup rapi serta memberinya gel agar terangkat sedikit ke atas. Selisih tinggi badan kita juga semakin menjauh. Kamu tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Kamu, cinta pertamaku. Seindah bunga yang bermekaran pada musim semi.

--

“Kenapa berhenti? Sudah selesai?” tanya Van pada Jill saat jemari lentik gadis di hadapannya berhenti menari di atas keyboard. Van sendiri tak paham mengapa di acara berlibur sekolah seperti ini Jill masih sempat-sempatnya membawa laptop untuk menulis.

Jill hanya menggeleng pelan, “Aku belum menemukan ending yang cocok.”

“Bagaimana kabar Oliver?” Van menanyakan salah satu karakter monster setengah manusia buatan Jill.

“Baik. Dia merindukanmu. Kapan kau akan membaca chapter dua belas? Kemarin aku baru menyelesaikan chapter lima belas.” Ya, dari sekian banyak tulisan Jill, Van hanya membaca satu karyanya. Jill penyuka romansa, sedangkan Van tidak suka cerita cinta.

“Apa hari ini juga tentang Oliver?”

“Bukan.” Ini tentangmu, lanjut Jill dalam hati.

“Lalu?”

Unnamed casts.”

“Tumben sekali?”

“Hanya ingin berganti suasana.” Aku sedang ingin mencurahkan isi hatiku.

“Mau jalan-jalan?” ajak Van. Jill mengangguk tanda setuju kemudian membawa kembali laptopnya ke dalam kamar. Van sendiri mengambil gitar dari kamarnya, entah untuk apa.

Sudah lama sejak terakhir kali mereka berjalan beriringan, tangan bertautan sambil sesekali melempar candaan. Penginapan mereka tak jauh dari pantai. Angin laut yang begitu kencang membuat Jill merapatkan cardigan tipis yang melapisi dress fuschia miliknya.

Manik hazel Jill menyapu langit jingga. Sebentar lagi matahari terbenam. “Mau kutunjukkan sesuatu?” tawar Van.

“Apa itu?”

“Bukan sesuatu yang hebat, sih, tapi kuharap kau mau mendengarnya,” ucap Van yang langsung duduk di pasir putih lalu mengeluarkan gitar kesayangannya.  Van menepuk tempat di sampingnya, mengisyaratkan Jill untuk menempati ruang kosong tersebut. “Jangan mengkritik dan nikmati saja, oke?” peringat Van.

Van mengusap tengkuk belakangnya sebelum mulai memetik senar, kemudian tersenyum kikuk pada Jill. Demi Pluto yang telah didepak dari Bimasakti, senyum apapun yang dimiliki Van telah menjadi favorit Jill. Senyuman Van selalu lebar. Kelewat lebar, malah. Obsidiannya yang tersembunyi dalam kelopak  serupa bulan sabit, serta kedua lesung pipi yang dimiliki Van.

Suara Van mulai mengalun seiring petikan gitarnya yang semakin kompleks. Jill mendengarkan dengan saksama semua untaian yang mengalir dari bibir tipis Van. Jill belum pernah mendengar lagu ini, apa Van yang mengarangnya sendiri? Tapi lirik yang dimuntahkan Van serasa familiar di telinga Jill.

Oh! Ini, ‘kan, jejeran kalimat yang pernah Jill tulis di kisah romansanya. Jill mengingat setiap katanya, Van hanya memilihnya secara acak dari beberapa tulisan Jill.

Jill memerhatikan figur Van dari samping, mengamati lekuk wajah Van, hingga empunya menoleh mendapati sepasang hazel yang menatapnya kagum. Untuk sekian kalinya, Jill membiarkan dirinya tengggelam dalam kelamnya mata Van. Menyiksa jantungnya yang seakan menggedor tulang rusuk.

Pendaran mata Van terlihat jelas oleh Jill, terlihat begitu bahagia namun di saat yang sama membuat Jill gelisah. Hari ini Van benar-benar terlihat bahagia. Senyuman Van bahkan semakin lebar tatkala ia menyelesaikan lantunannya.

“Itu tadi hebat, Van. Tapi kau mencurinya dari tulisanku,” puji Jill tulus sekaligus dengan protesnya.

“Aku bahkan berpikir seribu kali untuk mengutipnya, Jill. Sungguh, aku tak paham mengapa wanita suka dengan kalimat picisan menjijikkan seperti itu.”

“Kau tak terlihat seperti itu,” sanggah Jill. “Omong-omong, untuk apa kau membuat lagu?”

Hm… tapi jangan bilang pada siapapun ya?”

Tsk, memang aku akan bilang pada siapa?” Jill sebal, bukan karena Van, melainkan perasaan tak enaknya yang semakin menjadi

“Hehe, sebenarnya lusa aku akan menyatakan perasaanku pada El,” seratus persen benar. Jill merasakan sesuatu yang hancur dalam dirinya. Begitu buruk hingga rasanya tak bisa diperbaiki kembali. Bronkusnya seakan mengalami vasokontriksi yang begitu hebat hingga rasanya oksigen tak lagi mampu menjangkau alveolusnya.

“Ah, begitu,” Jill masih berusaha menanggapi.

Kaylee Eleanor Williams, seorang kapten cheerleader bersanding dengan Van si Kapten Basket. Katakan padaku, belahan bumi mana yang sanggup menolak mereka?

Kalah telak. Mungkin itu gambaran kondisi Jill sekarang. Jill sendiri tak mengelak. Eleanor memiliki tubuh yang ideal, tidak dengan Jill yang hanya sebatas pundak Van. Eleanor populer, mudah bersosialisasi, dan memiliki banyak teman, bukan seperti Jill yang selalu menciptakan dunianya sendiri dalam Microsoft Word. Eleanor pintar dan memiliki bakat, sedang Jill hanya mampu menyusun frasa demi frasa dengan kisah perasaannya pada Van secara implisit. Dan masih banyak lagi, dan masih banyak lagi kelebihan Eleanor.

“Tidak ingin memberiku semangat?” tanya Van sambil membuka lebar kedua tangannya. Biasanya jika seperti ini, Jill akan menoyor kepala Van kemudian berlalu pergi. Tapi untuk kali ini, Jill menyambut pelukan Van –untuk terakhir kalinya, sebelum Van terikat status dengan orang lain.

“Kau pasti berhasil,” ucap Jill sambil menepuk pundak Van. Tentu, wanita bodoh mana yang sanggup menolak pesona Van?

“Terima kasih, Jill. Kau sahabat terbaikku.” Persetan dengan persahabatan, Van. Kau pikir ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan? Hah. Omong kosong!

Melepaskan pelukan singkat mereka dengan senyum, tentu dengan makna yang berbeda. Jill mengusap matanya yang terasa berair, “Anginnya kencang sekali, aku ingin kembali ke penginapan. Dan, sepertinya aku sudah mendapatkan akhir dari kisah yang kutulis tadi.” Jill melenggang mendahului Van, menahan isakan sampai ke penginapan bukanlah hal yang mudah, asal kau tahu.

Dan, ya, tentu saja Jill telah memiliki akhir untuk menutup kisahnya. Sekarang ia mengerti, cinta pertama tidaklah indah. Cinta pertama adalah suatu yang menyakitkan, memenjarakanmu dalam kekalutan. Menenggelamkanmu dalam penyesalan dan kebodohan. Mencintai begitu dalam namun tak bisa memiliki.


-FIN

A/N : Aku bingung mau nulis apa. Ini jauh dari ekspektasi. Pas disuruh ada kata-kata monster kirain aku bakal nulis sesuatu yang mengerikan. TAPI INI APA? Huhuhu tulisanku gini-gini aja genrenya ._. ini aku nggga pake nama pena karena buat tugas sekolah. Ini ceritanya ada cerita di dalam cerita, mungkin bahasaku rada membingungkan. Bye~

0 komentar:

Posting Komentar

 
C's Blogger Template by Ipietoon Blogger Template